Lafadz “jodoh”
adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu.
Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal
dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang
cocok” baik bagi
laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang
lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana
terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat
dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan. Para Fuqaha’ ketika membahas hukum
pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral”
tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan
hidup dalam bahasa Indonesia.
Adapun makna jodoh yang menjadi topik
diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan
hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Allah telah menentukan dalam Lauhul
Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu
tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Allah sudah mentakdirkan dalam Azal
bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus
dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik
tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya
seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dsb.
Hanya saja, pembahasan tentang jodoh
termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan
pembahasan keimanan bahwa Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ )
(Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan”
adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain. Masing-masing adalah topik tersendiri yang
harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampur
adukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan
dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap
pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.
Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh
menunjukkan bahwa persoalan ini adalah termasuk masalah aqidah, sebab
kepercayaan bahwa Allah mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan
dengan D, atau Allah tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal.
Efek pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu seputar
persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan oleh seorang
mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah aqidah, bukan syariat
dan dalam masalah ini pambahasan tersebut tidak ada bedanya dengan pembahasan
tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur, dsb.
Dalam persoalan aqidah, seorang Muslim
harus mendasarkan semua kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak
diperkenankan seorang Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil., yakni sekedar
menduga-duga atau mengikuti umumnya kata orang. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh bersifat ( ظَنِّيٌّ )
(dugaan). Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang menunjukkan pada keyakinan tertentu,
selama dalil itu bersifat ( ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang Muslim mengambilnya sebagai aqidah. Allah
telah mencela keras orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa para
Malaikat itu berjenis kelamin wanita:
“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman
kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama
perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.”(An-Najm;27-2
artinya orang-orang kafir itu punya
keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki
bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.
Keyakinan mereka hanya didasarkan pada
dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon itu sama sekali tidak ada nilainya untuk
membuktikan ( الْحَقُّ )
Dari sini bisa difahami, bahwa langkah yang
harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan
bahwa Allah telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan.
Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).
Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan
ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an mapun as-Sunnah, juga
Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan calon pasangan
seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah
masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Artinya
persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang
manusia bertanggung jawab di dalamnya dan dihisab atasnya. Dalil yang
menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah:
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat (An-Nisa;4).
Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا
طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan bahwa setiap Muslim dipersilahkan
memilih calon istrinya. Alasannya, ketika Allah memubahkan untuk menikahi
wanita-wanita yang ( طَابَ ) (manis, enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela
lelaki yang tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena
fisik maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah
persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.
Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan
bahwa syara’ memberikan hak menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum
wanita, yang tidak boleh ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu,
paman, musyrif, atau khalifah sekalipun.
عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia
berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi Saw. Kemudian ia berkata:
Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat
derajatnya melalui aku. Maka Nabi pun menyerahkan keputusan itu pada gadis
tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan
ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak
punya hak dalam urusan ini. (H.R.Ibnu Majah dan An-Nasa’i)
Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan
penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya
ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak
penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.
Dalil lain yang mendukung adalah adanya
syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan
seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu
tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan bahwa
seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata syara’
memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.
Lebih dari itu studi terhadap akad-akad
yang diatur dalam syari’at Islam menunjukkan bahwa semua akad yang disana
terdapat Ijab dan Qabul adalah mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai
manusia. Dengan demikian jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya
adalah termasuk perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia.
Manusia akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia
melakukan jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang syar’i maka
ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan cara batil maka ia
akan dijatuhi hukuman. Demikian pula masalah menentukan pasangan hidup. Jika
seorang wanita Muslimah memutuskan menikah dengan orang kafir maka ia akan
dihukum, sebaliknya jika ia menikah dengan lelaki yang dihalalkan syara’ maka
ia bebas dari hukuman.
Adapun ayat yang berbunyi
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (Ar-Rum; 21)
“Dan Kami menciptakan kalian
berpasang-pasangan” (An-Naba’:
juga termasuk ayat-ayat yang semisal
dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan
tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Allah menetapkan A menikah
dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ )
(jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum
ayat ini tidak bisa difahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional)
ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud
dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia
terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Allah
memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A
akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.
Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah
untuk Khobitsun, dan Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat
adalah untuk Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) (An-Nur; 26)
maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab
As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong
dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol. Karena itulah para
mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini
adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya
adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari
orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya
ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan
lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah. Karena itu wajar jika
diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak
shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir.
Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang
telah ditetapkan sebagai mana rizki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan
sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Allah
telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.
Dari sini bisa difahami, bahwa jodoh bukanlah
perkara yang sudah ditetapkan di Lauhul Mahfudz, tetapi ia adalah mu’amalah
biasa sebagaimana mu’amalah yang lain, yang berada di area yang dikuasai
manusia dan manusia dihisab atasnya.
Namun pemahaman bahwa jodoh adalah sesuatu
yang berada dalam area yang dikuasai manusia bukan berarti pengingkaran bahwa
Allah adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) yang bersifat Maha Mengatur dan ( الْحَاكِمُ )
yang Maha Memutuskan. Setiap Mukmin ketika melaksanakan suatu aktivitas dalam
area yang dikuasainya kemudian ternyata apa yang terjadi di luar harapannya dan
di luar dugaannya, maka ia harus ridlo terhadap hal itu dan mengimani bahwa
Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur.
Sebagai contoh: Seorang Muslim hendak naik
haji dan sudah menyiapkan semua biaya dan bekal kemudian secara tiba-tiba Allah
memberinya sakit. Pada kondisi ini, harus difahami bahwa melaksanakan ibadah
haji adalah wilayah yang dikuasai manusia, tetapi pemahaman ini harus disertai
keyakinan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ). Dengan demikian
ia menjadi ridho terhadap segala apa yang menimpanya, karena semua itu berada
diluar kuat kuasanya.
Demikian pula dalam persoalan pasangan
hidup. Memilih siapapun yang akan menjadi pasangan hidup semuanya adalah
perkara (اخْتِيَارِيٌّ), akan tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain.
Seorang dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Allah mencondongkan pada suatu
keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Allah adalah Dzat yang
kuasa membolak-balikkan hati manusia. Namun ketika Allah mencondongkan pada suatu
keputusan, bukan berarti Allah memasangkan X dengan Y atau P dengan Q sejak
zaman Azali, alasannya orang masih punya pilihan mutlak untuk memutuskan hatta
terhadap sesuatu yang berlawanan sama sekali dengan kehendaknya. Karena itu
keimanan yang harus dimiliki adalah keimanan bahwa Allah bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak, baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang
tidak dikuasai manusia, bukan keimanan bahwa Allah telah menetapkan dalam
Lauhul Mahfudz bahwa A dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Atas dasar ini semua pemahaman yang belum
sesuai dengan nash-nash syara’ sesegera mungkin harus dikoreksi. Tidak boleh
menjadikan alasan kemaslahatan misalnya: “cara ini cukup efektif untuk
menghentikan orang dari pacaran” untuk mengadopsi pemahaman yang keliru tentang
jodoh. Alasannya hal ini adalah persoalan hukum syara’ bukan persoalan uslub
dakwah yang masih mungkin dipilih uslub yang paling tepat.
No comments:
Post a Comment